Persaingan Kompetitif Menjelang Pemilu
2014
Sistem Politik Indonesia telah mempraktikan beberapa sistem
politik atas nama demokrasi. Demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani,
yaitu demos yang berarti “rakyat” dan kratoz yang berarti “pemerintah”. Demokrasi di sini dapat diartikan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat.
Sistem demokrasi politik,
mau tidak mau, akan mempengaruhi tata cara Pemilu yang ada di Indonesia.
”Demokrasi Pemilu” di Indonesia sudah dilakukan sebanyak 10 kali. Pemilu di Indonesia
diadakan pertama kali pada tahun 1955. Berikut ini paparan mengenai Pemilu di
Indonesia.
Pemilu 1955
Pemilu 1955 merupakan Pemilu yag pertama kali dilakukan
di Indonesia sejak kemerdekaan Republik Indonesia pada 1945, jarak 10 tahun
sebelum diadakannya Pemilu. Pemilu pertama berhasil dilaksanakan dengan aman,
lancar, jujur, dan adil (LUBERJURDIL –pen) serta demokratis. Bahkan, Pemilu
pertama ini mendapatkan pujian dari negara asing.
Pemilu ini diikuti oleh sekitar 30 partai dan lebih dari seratus daftar
kumpulan dan calon perorangan. Pemilu 1955 dilakukan untuk dua keperluan, yaitu
memmilih anggota DPR dan memilih anggota dewan konstitusi.
Periode Demokrasi Terpimpin
Demokrasi Terpimpin diawali dengan keluarnya dekrit
Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan konstituante
dan pernyataan kembali UUD 1945. Pada zaman Demokrasi Terpimpin ini Pemilu
tidak pernah dilaksanakan kembali.
Pemilu 1971
Pemilu kedua
dilaksanakan pada 5 Juli 1971 setelah 4 tahun Soeharto menjadi presiden.
Waktu itu, ketentuan tentang partai (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yag
diterapkan Presiden Soekarno. Perbedaan pemilu kedua dengan yang pertama adalah
pada Pemilu pertama 1955, pejabat Negara yang berasal dari partai bisa ikut
menjadi calon partai secara formal.
Sementara itu, pada Pemilu 1971, pejabat negara
diharuskan bersikap netral. Namun, praktiknya tidaklah demikian. Para pejabat
negara berpihak pada satu partai, yaitu Golkar.
Pemilu 1977, 1982, 1987, 1999, dan 1997
Sejak pemilu keuda, Pemilu berikutnya terlakasana secara
lancar dalam pelaksanaan Pemilu sejak 1997, terjadi pengurangan partai. Hanya 3
partai, yaitu Golkar (Golongan Karya), PDIP (Partai Demokrasi Perjuangan
Indonesia), dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan).
Dalam 5 kali Pemilu ini, hasil pemenangnya sama, yaitu
Golkar, PDIP, dan PPP, seperti terlihat, hanya sebagai pelengkap. Pada Pemilu
1997, terjadi kerusuhan karena kecurangan hasil suara yang terjadi di beberapa
daerah. Puluhan kotak suara dibakar. Di beberapa tempat, diadakan Pemilu ulang.
Pemilu 1999
Setelah
Presiden Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, kursi presiden diganti oleh wakil
presiden pada waktu itu, yaitu Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan rakyat,
Pemilu akhirnya dipercepat dengan diikuti oleh 48 partai.
Pemilu 2004
Pada
Pemilu sebelumnya, rakyat hanya memilih partai. Presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR yang
anggota-anggotanya dipilih oleh presiden. Namun, pada Pemilu 2004 rakyat
langsung memilih presiden dan wakilnya, pada Pemilu sebelumnya pemilihan
presiden dan wakilnya dilakukan secara terpisah.
Pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai dan dibagi menjadi 3 tahap, yaitu
sebagai berikut :
1.
Pemilu legislatif, dilaksanakan pada 5
April 2004, yaitu Pemilu yang dilakukan untuk memilih partai politik,diikuti
oleh 24 partai politik dengan anggota yang akan dicalonkan menjadi anggota DPR,
DPRD, dan DPD.
2.
Pemilu presiden putaran kedua, pada 5
Juli 2004 dilaksanakan untuk memilih calon presiden dan wakil presiden secara
langsung.
3.
Pemilu presiden putaran ketiga, pada 20
September 2004 adalah tahap terakhir yang dilaksanakan apabila tahap kedua
belum ada calon presiden dan wakilnya yang mendapatkan suara paling tidak 50
persen.
Pemilu 2009
Pemilu
yang dilaksanakan pada 8 Juli 2009. Adalah pemilu yang dilakukan kedua kalinya,
rakyat langsung memilih presiden dan wakilnya. Pemilu ini diikuti sebanyak 38
partai politik dan dimenangi oleh Susilo Bambang Yudhoyono – Boediono.
Menurut Para
Ahli Definisi Demokrasi
Menurut Jeff Haynes (1997)
ada 3 (tiga) macam sebutan demokrasi yaitu:
Pertama; demokrasi formal (Formal Democracy)
dalam kehidupan demokrasi ini secara formal pemilu dijalankan dengan teratur,
bebas, dan adil. Tidak terjadi pemaksaan oleh negara terhadap masyarakatnya.
Ada kebebasan yang cukup untuk menjamin dalam pemilihan umum. Namun demokrasi
formal tersebut belum menghasilkan sebagaimana yang digunakan masyarakat yaitu;
kesejahteraan masyarakat yang didukung terwujudnya stabilitas ekonomi dan
politik. Model demokrasi seperti ini kemungkinan bisa dianalogikan dengan
situasi dan kondisi di era reformasi saat ini yang tengah berlangsung.
Kedua;
demokrasi permukaan (Façade Democracy); yaitu demokrasi seperti yang tampak
dari luarnya memang demokrasi, tetapi sesungguhnya sama sekali tidak memiliki
susbstansi demokrasi. Demokrasi model ini kemungkinan lebih tepat jika
dianalogikan dengan situasi dan kondisi demokrasi pada masa Orde Baru.
Ketiga; demokrasi substantif (Substantive
Democracy), demokrasi model ini memberikan ruang yang lebih luas bagi
masyarakat, mungkin saja diluar mekanisme formal.
Sehingga
kebebasan yang dimiliki masyarakat mampu mendapatkan akses informasi yang
akurat dalam pengambilan keputusan penting oleh negara atau pemerintah. Jadi
demokrasi susbstantif tersebut memberikan keleluasaan yang lebih dinamis tidak
hanya demokrasi politik saja seperti selama ini dirasakan, tapi juga demokrasi
sosial dan demokrasi ekonomi.[1]
Korelasi Pemilu
dan Demokrasi
Demokrasi adalah
sebuah sistem politik yang mencari dan mengarahkan gerakan masyarakat dalam hal
mencapai konsep peradabannya. Dalam perspektif dan praktik demokrasi, dapat
pula disebut sebagai pemerintahan oleh
rakyat yang dijalankan oleh perwakilan yang mereka pilih sendiri melalui suatu
pemilihan umum (pemilu) yang berlangsung secara demokratis dan berkala.
Menurut
Henry B. Mayo, dengan adanya Pemilihan Umum maka salah satu nilai
demokrasi dapat terwujud, artinya terjadi perpindahan kekuasaan negara dari
pemegang yang lama kepada pemegang yang baru secara damai.
Pemilihan Umum merupakan salah satu
sendi untuk tegaknya sistem politik demokrasi. Tujuan Pemilihan Umum tidak lain
adalah untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip demokrasi, dengan cara memilih
wakil-wakil rakyat di Lembaga Perwakilan Rakyat. Kesemuanya itu dilakukan dalam
rangka mengikut sertakan rakyat dalam kehidupan ketatanegaraan.
Salah satu fungsi utama Pemilu dalam
negara demokratis tidak lain adalah untuk
menentukan Kepemimpinan Nasional secara konstitusional. Kepemimpinan
Nasional yang dimaksud disini menyangkut juga kepemimpinan kolektif yang
direfleksikan dalam diri para Wakil Rakyat. Oleh sebab itu dalam bentuk dan
jenis sistem pemerintahan apapun, Pemilu menduduki posisi yang sangat strategis
dalam rangka melaksanakan tujuan tersebut. Dalam sistem presidensiil yang
murni, Pemilu diselenggarakan sebanyak dua kali, yaitu pertama, untuk
menentukan wakil rakyat yang duduk di parlemen. Kedua, untuk menentukan
Presiden (Kepala Pemerintahan) dalam rangka menyelenggarakan Pemerintahan
Negara.
Dalam suatu sistem politik demokrasi, kehadiran pemilu yang bebas dan adil (free and fair) adalah
suatu keniscayaan. Bahkan negara manapun sering menjadikan pemilihan
umum sebagai klaim demokrasi atas sistem politik yang dibangunnya. Di
negara-negara berkembang pemilihan umum sering kali tidak dapat dijadikan
parameter yang akurat dalam mengukur demokrasi atau tidaknya suatu sistem
politik. Artinya, ada tidaknya pemilu di suatu negara tidak secara otomatis
menggambarkan ada atau tidaknya kehidupan demokrasi politik di negara tersebut.
Hal ini disebabkan, pemilu di beberapa negara dunia ketiga seringkali tidak
dijalankan dengan menggunakan prinsip-prinsip demokrasi.
Ada beberapa alasan mengapa pemilu
sangat penting bagi demokrasi khususnya di negara-negara Dunia ketiga, yaitu: Pertama, melalui pemilu memungkinkan suatu komunitas politik
melakukan transfer kekuasaaan secara damai. Kedua,
melalui pemilu akan tercipta pelembagaan konflik.
Secara konseptual, terdapat dua
mekanisme untuk menciptakan pemilu yang bebas dan adil. Pertama, menciptakan seperangkat metode atau aturan untuk
mentransfer suara pemilih ke dalam suatu lembaga perwakilan rakyat secara adil,
atau yang disebut oleh banyak kalangan ilmuwan politik disebut dengan sistem
pemilihan (electoral system). Kedua,
menjalankan pemilu sesuai dengan aturan main dan prinsip-prinsip demokrasi,
atau yang oleh kalangan ilmuwan politik disebut denga proses pemilihan (electoral process).
Sebagaimana disebutkan oleh Sjamsudin Haris (2005:2), pertama,
Pemilihan langsung diperlukan untuk memutuskan mata rantai oligarki partai yang
harus diakui cenderung mewarnai kehidupan partai-partai politik. Kepentingan
partai-partai itulah dan bahkan kepentingan elit politik seringkali
dimanipulasi sebagai kepentingan kolektif masyarakat. Dengan demikian pemilihan
umum secara langsung bagi calon anggota legislatif dari partai politik,
diperlukan guna meminus mata rantai politisasi atas partisipasi publik dan
aspirasi publik yang cenderung dilakukan oleh partai-partai politik dan para
politisi partai bilamana dipilih oleh elit politik di parlemen.
Pemilihan umum secara lagsung oleh
rakyat, akan lebih meningkat kualitas partisipasi rakyat di satu pihak dan
keterwakilka elit di lain pihak, karena masyarakat dapat menentukan sendiri
siapa yang dianggap pantas dan layak yang akan menjadi calon anggota legislatif
dan partai politik untuk membawa aspirasi masyarakatnya, baik di pusat maupun
lokal.
Bagi Larry Diamond (2003: 103-107), Pemilihan Umum bebas dan adil yang
dilakukan secara berkala, meskipun memenuhi aspek kompetisi dan partisipasi, hanya
menjanjikan demokrasi pemilihan yang secara katagoris berbeda dengan demokrasi
liberal. Selanjutnya Diamond merumuskan bahwa, demokrasi pemilihan adalah suatu
sistem konstitusional yang menyelenggarakan pemilihan umum multipartai yang kompetitif dan teratur dengan hak pilih
universal untuk memilih anggota legislatif dan kepala eksekutif.[2] Mengutip dari
Caller dan Levitsky. Diamond mengidentifikasi sistem seperti itu sebagai
demokrasi prosedural yang diperluas. Darmawan
(2008:85) menyatakan bahwa yang terpenting dalam pemilu adalah substansi
demokrasi bukan klaim politis atas kedemokrasiannegara yang dibangun.
Pemilihan dan pemilihan suatu sistem
Pemilihan umum (pemilu) merupakan salahsatu keputusan kelembagaan yang penting
bagi negara-negara yang berupaya untuk menegakkan keberadaban dan
keberkualitasan sistem politik. Karena sistem pemilihan umum akan menghasilkan
logika-logika politik, atas laksana administrasi, berjalannya birokrasi, hingga
tumbuh dan berkembangnya civil society
di dalam sistem selanjutnya.
Kehendak rakyat ialah dasar kekuasaaan pemerintah.kehendak itu akan
dilahirkan dalam pemilihan-pemilihan berkala dan jujur yang dilakukan dalam
pemilihan umum dan berkesamaan atas pengaturan suara yang rahasia, dengan cara
pemungutan suara yang bebas dan sederajat dengan itu. Dengan demikian
kebebasan, kejujuran, rahasia dan berkesamaanmerupakan hal yang esensial dalam
penyelenggaraan pemilu.
Reformasi
Pemilu Dan Agenda Konsolidasi Demokrasi : Perspektif Ketatanegaraan
Pemilu memiliki
fungsi untuk melakukan kondisi yang kondusif bagi konsolidasi upaya pada demokrasi
dan pemilu untuk mengubah demokrasi menuju demokrasi konstitusional yang
stabil. Meskipun tidak semua agenda yang
relevan mungkin diwujudkan oleh atau berdasarkan pemilihan
umum, tetapi sebagai empiris diketahui bahwa setelah
pemilihan umum yang diselenggarakandua posting era
Orde Baru , telah berhasil pada melakukan sebuah
kepercayaan di mata masyarakat bahwa demokrasi adalah "satu-satunya
permainan di kota". Kepercayaan ini memiliki masih
hidup bahkan selama jangka politik dan
ekonomi dalam situasi yang buruk.
Kata kunci: demokrasi elektoral,
demokrasi konstitusional, konsolidasi demokrasi.
Selepas rezim Orde Baru,
Pemilu dengan segera diyakini sebagai salah satu instrument untuk mendorong
proses demokratisasi di Indonesia. Hanya berselang 10 bulan setelah
menggantikan Soeharto, Presiden B.J. Habibie memberlakukan UU Partai Politik
dan UU Pemilu pada tanggal 1 Februari 1999. Kedua UU tersebut menjadi dasar
bagi pelaksanaan Pemilu yang relatif bebas dan demokratis di Indonesia. Setelah
itu terbentuk pemerintahan baru yang kendatipun berkuasa di tengah hingar
bingar politik, tetapi akhirnya berhasil mengadakan Pemilu berikutnya pada
tahun 2004 yang juga terhitung bebas dan demokratis.[3]
Keyakinan akan Pemilu
sebagai instrumen demokrasi bukan hal baru dalam sejarah Indonesia merdeka. Bahkan rezim otokratis
semisal Orde Baru pun tetap melaksanakan Pemilu secara berkala sebagai wujud
pelaksanaan Demokrasi Pancasila. Kendatipun pelaksanaannya jauh dari kaidah
demokrasi, namun Pemilu telah menjadi instrumen terpenting yang membentuk
keyakinan dan tradisi politik pada seluruh rakyat Indonesia akan signifikasi
Pemilu dalam kehidupan demokrasi. Tak heran bila selepas Orde Baru rakyat tetap
menunjukkan sikap antusiasnya dalam mengikuti Pemilu.
Dari Demokrasi Elektoral ke
Demokrasi Konstitusional
Secara teoretis keyakinan
akan Pemilu sebagai instrumen terpenting
bagi demokratisasi memperoleh legitimasi yang kuat dari Samuel P. Huntington dalam buku The Third Wave of Democratization in The Late Twentieth Century (1993). Dalam bukunya yang monumental itu, Huntington mendefinisikan demokrasi dengan merujuk pada pendapat Joseph Schumpeter dalam bukunya yang diterbitkan pertama kali tahun 1942. Dalam buku yang berjudul Capitalism, Socialism, dan Democracy, Schumpeter mendefinisikan demokrasi secara
prosedural dengan Pemilu sebagai esensi demokrasi.
Akan tetapi, Huntington
segera menambahkan bahwa sistem demokrasi tak cukup hanya dengan Pemilu. Pemilu
yang bebas, jujur, dan kompetitif hanya dimungkinkan bila terdapat kebebasan
berpendapat, berkumpul, dan pers, serta jika kandidat dan partai oposisi dapat
melakukan kritik terhadap penguasa tanpa ketakutan akan terjadinya pembalasan
(Huntington, 2000:6).[4]
Dengan demikian, pemilu
bukan segala-galanya dalam demokrasi. Secara brilian Larry Diamond
menggambarkan tesis itu dengan membedakan antara electoral democracy dan liberal democracy. Demokrasi elektoral adalah demokrasi procedural sebagaimana yang dimaksudkan oleh Huntington, sedangkan yang dimaksud dengan demokrasi liberal dilukiskan oleh Diamond
adalah :
In a liberal democracy, the military is
subordinated, the executive is constrained,
the constitution is supreme, due process is respected, civil society is autonomous and free, citizens are politically
equal, women and minorities have access to power, and
individuals have real freedom to speak and publish and organize and protest (Diamond, 2000:17).
Dalam
perspektif yang sama Greg Russell menyebutnya sebagai demokrasi konstitusional,
yakni demokrasi yang berakar pada gagasan liberal yang menghendaki adanya
pembatasan kekuasaan dan perlindungan HAM. Berkenaan dengan pembedaan tersebut,
Diamond mencatat adanya lompatan negara-negara yang melaksanakan electoral democracy sejak tahun 1990, meningkat hampir 20 persen
dan sejak tahun 1995 praktis seluruh dunia melaksanakan electoral democracy, termasuk Indonesia pada tahun 1999 (Lihat
tabel 1).
TABEL 1—JUMLAH DEMOKRASI PEMILU, 1974,
1990-98
Tahun
|
Jumlah Demokrasi
|
Jumlah
Negara
|
Demokrasi
sebagai % dari semua Negara
|
Tahunan
Tingkat Peningkatan Demokrasi
|
1974
|
39
|
142
|
27,5%
|
n/a
|
1990
|
76
|
165
|
46,1%
|
n/a
|
1991
|
91
|
183
|
49,7%
|
19,7%
|
1992
|
99
|
186
|
53,2%
|
8,1%
|
1993
|
108
|
190
|
56,8%
|
8,3%
|
1994
|
114
|
191
|
59,7%
|
5,3%
|
1995
|
117
|
191
|
61,3%
|
5,3%
|
1996
|
118
|
191
|
61,8%
|
0,9%
|
1997
|
117
|
191
|
61,3%
|
-0,9%
|
1998
|
117
|
191
|
61,3%
|
0,0%
|
Keterangan : Angka untuk 1990-1995 adalah untuk akhir tahun kalender.
Angka untuk 1974 mencerminkan perkiraan saya jumlah negara
demokrasi di dunia pada bulan April 1974, saat dimulainya gelombang ketiga. Sumber: Larry Diamond, 2000: 15.
Namun pada saat bersamaan Diamond pun mencatat kecenderungan
yang kontradiktif: di satu pihak terjadi pertumbuhan demokrasi elektoral,
tetapi di lain pihak tejadi stagnasi dalam demokrasi konstitusional (liberal). Menurut dia, kecenderungan
seperti itu merupakan petunjuk dari terjadinya kedangkalan demokratisasi (shallowness of
democratization) dalam periode akhir
dari gelombang ketiga. Selama enam tahun pertama dari 1990-an,
jarak antara demokrasi elektoral dan demokrasi konstitusional semakin melebar.
Dari seluruh proporsi negara demokrasi di dunia, negara “bebas” menurun dari 85
persen pada 1990 menjadi 65 persen pada 1995. Proporsi tersebut meningkat
menjadi 69 persen pada 1997, dan semakin signifikan menjadi 74 persen pada 1998.[5]
Situasi kontradiktif seperti itu menunjukkan, bahwa semakin banyak
negara yang gagal memetik keuntungan dari demokrasi elektoral dan bahkan
menghasilkan pemerintahan yang tidak efisien, korup, rabun, tidak bertanggung
jawab, dan didominasi oleh kepentingan jangka pendek. Situasi ini melahirkan
kekhawatiran akan terjadinya arus balik yang disebut Diamond
sebagai “the third reverse wave”. Dalam konteks inilah proses konsolidasi demokrasi menjadi
keniscayaan.
Esensi dari konsolidasi demokrasi adalah legitimasi:
pertumbuhan keyakinan–di antara para elite dan warga negara dari partai politik
utama, kepentingan, etnisitas, dan ideologi –bahwa demokrasi adalah bentuk
pemerintahan terbaik dan bahwa aturan-aturan yang disediakan di dalamnya
merupakan satu-satunya alat untuk memperoleh kekuasaan (Diamond, 2000: 23) atau
dalam ungkapan Juan J. Linz (2001: 27),
demokrasi menjadi “the only game in town” (satu-satunya aturan yang
berlaku). Keyakinan akan demokrasi tersebut bahkan tetap terpelihara dalam
situasi politik dan ekonomi yang sangat buruk sekalipun, sehingga mayoritas
rakyat tetap meyakini perubahan politik harus tetap dilakukan berdasarkan
parameter parameter yang terdapat dalam prosedur demokratis. Jadi, konsolidasi
demokrasi membutuhkan lebih dari sekedar pemilu.
Untuk melancarkan konsolidasi demokrasi tersebut, Diamond mengajukan
beberapa agenda: 1) Memperluas akses warga negara terhadap sistem peradilan dan
membangun suatu rule of law yang sesungguhnya; 2) Mengendalikan
perkembangbiakan korupsi politik yang dapat meningkatkan sinisme dan
pengasingan dari proses politik; 3) Penguatan pembuatan hukum dan kekuasaan investigatif
badan legislatif sehingga menjadi badan yang profesional dan independen; 4) Desentralisasi
kewenangan negara dan penguatan pemerintahan daerah, sehingga demokrasi dapat
lebih responsif dan bermakna bagi seluruh warga negara di seluruh wilayah suatu
negara; 5) Menciptakan partai-partai politik yang mampu memobilisasi dan
merepresentasikan kepentingan yang berkembang di masyarakat—bukan hanya
kepentingan personal para pemimpin dan lingkungan para politisi belaka; 6) Membangun kekuatan masyarakat sipil dan
media yang independen yang dapat memelihara modal sosial, partisipasi warga, membatasi
tetapi memperkuat kewenangan konstitusional dari negara;
7) Memperkenalkan, baik di dalam maupun di luar sistem
persekolahan, program pendidikan warga yang baru yang dapat menumbuhkan
kemampuan untuk berpartisipasi dan meningkatkan toleransi, nalar, moderasi, dan
kompromi, yang merupakan tanda dari kewargaan yang demokratis (2000: 24).
Agenda konsolidasi yang ambisius tersebut memerlukan adanya
peningkatan aturan hukum baru, penumbuhan lembagalembaga baru dan penguatan
kapasitas lembaga-lembaga negara, sistem kepartaian, dan masyarakat sipil. Dalam
keyakinan Diamond
apabila upaya-upaya
tersebut berhasil, maka dalam waktu 10-15 tahun akan terjadi transformasi dari
demokrasi elektoral menuju suatu demokrasi liberal atau demokrasi
konstitusional yang stabil.
Sementara itu Juan Linz menyebutkan ada lima kondisi yang saling
berkaitan dan saling menguatkan satu sama lain yang diperlukan agar demokrasi
terkonsolidasi, yakni: (1) kondisi yang memungkinkan pengembangan masyarakat
sipil yang bebas; (2) adanya masyarakat politik yang otonom; (3) kepatuhan dari
seluruh pelaku politik utama, terutama dari para pejabat pemerintahan pada rule of law; (4) harus terdapat
birokrasi negara yang dapat dipergunakan oleh pemerintahan demokratik baru (usable bureaucracy); (5) keharusan akan
adanya masyarakat ekonomi yang terlembagakan (Linz, 2001:28-34).
Dalam kaitannya dengan pemilu, Linz memasukan pemilu dan aturan
pemilu ke dalam ranah masyarakat politik (political society). Linz sendiri menyebut,
bahwa pada dasarnya kekuatan masyarakat sipil dapat menghancurkan rezim
non-demokratik, tetapi untuk kepentingan konsolidasi demokrasi harus
menyertakan masyarakat politik. Konsolidasi demokrasi mensyaratkan adanya
peningkatan apresiasi warga negara atas lembaga inti dalam suatu masyarakat
politik yang demokratis, yakni partai politik, legislatif, pemilu, aturan
pemilu, kepemimpinan politik, dan aliansi antarpartai (Linz, 2001: 29).
Pemilu pun dapat menjadi petunjuk dari berjalannya sistem peradilan
kita dalam kehidupan demokrasi. Penyelesaian sengketa pemilu, baik pemilu
legislatif maupun Presiden, yang diajukan oleh masyarakat kepada Mahkamah
Konstitusi serta penyelesaian sengketa Pilkada kepada Pengadilan
Tinggi/Mahkamah Agung menunjukkan pengakuan masyarakat akan peran dan
independensi pengadilan dalam resolusi konflik sekaligus menunjukkan tingkat
kesadaran hukum warga negara yang sudah relatif baik.
Berperannya Komisi Yudisial dalam kontroversi putusan Pengadilan
Tinggi Jawa Barat dalam Pilkada Depok memperlihatkan perkembangan yang cukup
menggembirakan dalam dunia hukum dan peradilan nasional. Namun demikian, pada
saat bersamaan pelaksanaan Pemilu pun mencuatkan sejumlah kasus memalukan
dengan terungkapnya tindakan suap dan korupsi yang dilakukan oleh sebagian
anggota dan pegawai KPU serta KPUD di sejumlah daerah. Kasus korupsi di
KPU/KPUD ini seperti meneguhkan kecenderungan korupsi di dunia politik,
termasuk di sejumlah DPRD, yang semakin memperburuk citra kehidupan politik
nasional.
Terungkapnya kasus korupsi di KPU tersebut menunjukkan, bahwa
dalam banyak segi demokrasi elektoral di Indonesia belum berkembang ke arah
demokrasi yang terkonsolidasi dengan baik. Demokrasi elektoral memang berhasil
membentuk pemerintahan baru yang memiliki legitimasi politik yang kuat. Bahkan
dalam beberapa segi berhasil mentransformasikan demokrasi sebagai satu-satunya
aturan yang berlaku dalam kehidupan politik warga negara. Rasanya, tidak
terlalu sulit pada saat ini untuk meyakinkan mayoritas warga negara untuk
menggunakan prosedur demokrasi dalam penyelesaian sengketa di tengah
masyarakat.
Penyelesaian secara hukum atas sengketa Pilkada di Kota Depok
serta peran Komisi Yudisial dapat diharapkan menjadi presiden baik bagi
penegakan rule of law di Indonesia mengingat sengketa Pemilu
merupakan sengketa yang sensitif dan menyangkut keterlibatan publik yang luas
sehingga dapat berdampak pada kehidupan demokrasi secara keseluruhan.
Keberhasilan dalam menangani sengketa serupa di masa datang akan menentukan proses
konsolidasi demokrasi di Indonesia, sehingga semua elemen bangsa meyakini rule of law sebagai prinsip demokrasi
yang menjadi satu-satunya aturan yang ditaati dan tidak tergoda untuk jalan
kekerasan yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.
Kondisi birokrasi seperti itu pada kenyataannya masih jauh dari
kenyataan. Birokrasi Indonesia masih tetap lamban, tidak efisien, dan sarat
dengan korupsi. Namun, upaya depolitisasi birokrasi tetap memiliki makna yang
sangat penting bagi terbentuknya birokrasi yang profesional. Selebihnya faktor
kepemimpinan.
Persiapan Pemilu 2014 Jaya Raya Indonesia
Persiapan pemilu 2014 sering dikaitkan dengan pilkada yang berlangsung pada tahun
2011. Persiapan pemilu 2014 dijelaskan
oleh Ketua KPU bahwa berdasarkan perkembangan pembahasan Rancangan Perubahan UU
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, tahapan pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD
dimulai 22 bulan sebelum hari pemungutan suara. Pemungutan suara diperkirakan
bulan April 2014. Pendaftaran parpol peserta pemilu dimulai bulan
Agustus-Desember 2012. Tahap penyerahan data kependudukan dijadwalkan bulan
Desember 2012 sampai dengan Januari 2013. Selanjutnya sinkronisasi aplikasi
pemutakhiran data pemilih antara KPU dan Dirjen Adminduk bulan Januari-Februari
2013.
Penyerahan
DP4 dari pemerintah ke KPU dan proses pemutakhiran data pemilih bulan
Maret–Oktober 2013. Tahapan penyusunan dan penetapan dapil yang diawali dengan
penyerahan data kependudukan dari pemerintah kepada KPU bulan Desember 2012
sampai dengan Februari 2013. Tahapan pencalonan dimulai bulan Mei–September
2013. Masa kampanye dimulai Januari 2013 sampai dengan April 2014.
Persiapan
pemilu 2014 khusus untuk pengadaan logistik pemilu dan
pendistribusiannya dimulai bulan Oktober 2013 sampai dengan April 2014.
Pemungutan suara, penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara,
penghitungan pembagian kursi bulan April– Mei 2014. Sedangkan penetapan hasil
pemilu, penghitungan pembagian kursi dan penetapan calon terpilih, termasuk
proses persidangan di MK jika ada gugatan bulan Mei-Oktober 2014. Sumpah janji
untuk anggota DPRD Kabupaten/Kota bulan Juli– Agustus 2014, DPRD Provinsi bulan
Agustus–September 2014, DPR RI dan DPD RI tanggal 1 Oktober 2014.
Kesimpulan rapat yang dilakukan oleh KPU adalah sebagai
berikut. Pertama, Terkait penyelenggaraan pemilukada yang
terjadi sejak tahun 2010 sampai dengan sekarang, Komisi II DPR RI meminta kepada
KPU dan Bawaslu untuk menyerahkan data terkait sebagai bahan masukan dalam
melaksanakan fungsi legislasi DPR RI, yakni; jenis-jenis pelanggaran yang
terjadi dan tindak lanjut yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, klasifikasi
partai politik dan perseorangan sebagai pemenang pemilukada, masalah partai
politik terkait persyaratan dan pengusungan calon, kelemahan regulasi yang
terjadi di lapangan, dan kategorisasi penanganan putusan peradilan, khususnya
yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Kedua, Komisi II
DPR RI mendorong agar peran pencegahan dari Bawaslu dapat dilaksanakan secara
lebih efektif. Ketiga, Terhadap Rancangan Undang-Undang
tentang Pemilukada, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang akan dibahas
oleh DPR RI, Komisi II DPR RI meminta KPU dan Bawaslu untuk dapat memberikan
masukan-masukan yang komprehensif. Keempat, Terkait usulan
anggaran pemilukada agar dialokasikan dari APBN, Komisi II DPR RI meminta
kepada KPU dan Bawaslu untuk menyampaikan usulannya secara komprehensif.
Persiapan pemilu 2014 kemudian dikaitkan dengan yang telah terjadi di pilkada atau
pemilukada di beberapa wilayah Indonesia. Sebagian besar Anggota Komisi II DPR
RI menyoroti tentang semakin tingginya konflik pemilukada di daerah-daerah yang
berujung pada tindakan anarkis. Selain itu, banyak kasus sengketa pemilukada
yang harus berakhir di Mahkamah Konstitusi. Penyelesaian sengketa pemilukada di
MK di satu sisi menunjukkan bahwa kesadaran hukum masyarakat semakin tinggi,
namun disisi lain membuktikan bahwa masih banyak ”lubang-lubang hitam”
penyelenggaraan pemilukada di republik ini. KPU dan Bawaslu menjelaskan bahwa
sebagian besar kasus pemilukada terkait dengan politik uang (money
politics), pengerahan PNS, intimidasi dan kekerasan.
Ketua KPU Hafiz Anshary menjelaskan bahwa ada beberapa
permasalahan terkait pemilukada, seperti masalah regulasi dimana ada beberapa
pasal di dalam UU yang tidak mudah dilaksanakan. Adapula pasal-pasal yang tidak
sinkron antara UU yang satu dengan UU yang lain. Misalnya masalah sumber
pemutakhiran data pemilih. UU Nomor 32 Tahun 2004 jo. UU Nomor 12 Tahun 2008
tentang Pemerintah Daerah dengan UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilu. Menurut UU No. 32 Tahun 2004 pemutakhiran data pemilih
didasarkan pada data pemilih pada pemilu terakhir, sementara menurut UU Nomor
22 Tahun 2007, sumber data yang digunakan untuk pemutakhiran data pemilih
adalah data kependudukan dari pemerintah. Selain itu, anggaran pemilukada yang
berasal dari APBD juga banyak menimbulkan masalah seperti keterlambatan persetujuan,
jumlah yang tidak sesuai dengan kebutuhan, dan kesulitan pencairan dengan
berbagai alasan, tidak ada sanksi hukum bagi kepala daerah yang mengulur-ulur
anggaran sehingga menghambat proses pemilukada, kepengurusan parpol yang lebih
dari satu, pemecatan pengurus parpol di daerah di injure time, pengusulan
calon yang lebih dari satu, perbedaan pasangan calon yang diusung antara
pengurus parpol di daerah dengan pengurus pusat, pergantian pasangan calon yang
diusung didetik-detik terakhir masa pendaftaran atau dipenghujung masa
penyerahan perbaikan berkas, ijazah palsu, persoalan tes kesehatan, dukungan
ganda untuk calon perseorangan dan dukungan fiktif, penyelenggara yang
tidak netral, tidak profesional, penyelenggara yang terlibat konflik kepentingan,
putusan pengadilan yang berbeda atau melewati tahapan.
Misalnya
perbedaan antara putusan Pengadilan Negeri dengan MK, putusan Pengadilan Negeri
atau PTUN sesudah semua proses tahapan pemilukada berakhir dan calon terpilih
sudah dilantik.
Pembatasan dana kampanye memang mulai dikeluarkan oleh beberapa kalangan, misalnya
ICMI. Pembatasan
dana kampanye yang
disampaikan oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) meminta DPR
mengatur pembatasan dana kampanye melalui RUU pemilu yang kini tengah dibahas.
Pembatasan dana kampanye diharapkan bisa mengurangi potensi liberalisasi politik.
ICMI sendiri sebenarnya sudah sejak dua tahun lalu menyuarakan perlunya
pembatasan dana kampanye itu. Bukan hanya dalam pemilu DPR, DPD, dan DPR.
Melainkan juga untuk pemilu presiden dan pemilihan kepala daerah.
Aturan
tersebut akan melengkapi sumbangan ke parpol yang sudah dibatasi terlebih dulu
di UU Pemilu. Itu akan menjadi salah satu jalan keluar yang efektif untuk
mencegah terjadinya praktik money politics. Karena ketika biaya kampanye tidak dibatasi, akan muncul
pemimpin instan. Pemimpin tersebut dibesarkan melalui iklan. Seorang pemimpin
seharusnya memiliki potensi 60 persen. Kekurangan 40 persen diraih dengan
kampanye. Bukannya hanya punya modal dasar 20 persen, lalu mengandalkan iklan
kampanye. Gara-gara kampanye dan uang jadi 100 persen, pengalaman pemilu 2009
lalu menunjukkan bahwa partai politik lebih mengedepankan strategi populis
ketimbang kerja politik. Pembatasan pemasukan dan pengeluaran dana kampanye,
yang diiringi dengan penegakan hukum bagi para pelanggar, dinilai dapat memaksa
partai untuk tidak bekerja instan.
Pembatasan dana kampanye itu mengemuka dalam diskusi Pembatasan Belanja Kampanye :
Gagasan untuk RUU Pemilu, yang digelar Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi
(Perludem) di Jakarta. Pembatasan pemasukan dan pengeluaran belanja kampanye,
akan memaksa partai memaknai kerja politik bukan hanya pada momentum pemilu.
ICW mengusulkan, pembatasan dana kampanye diturunkan, untuk individu menjadi
maksimal Rp250 miliar, sedangkan badan hukum maksimal Rp1 miliyar. Ia
menjelaskan, kelemahan lain dalam UU 10 tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD dan
DPRD terlihat pada tidakadanya batasan sumbangan yang berasal dari internal
kader dan partai politik. Pembatasan hanya dilakukan untuk dana kampaye yang
berasal dari pihak lain perseorangan yakni maksimal Rp1 miliar dan kelompok
atau perusahaan dan badan usaha non pemerintah maksimal Rp5 miliar.
Pembatasan sumbangan dan dana kampanye pada pemilihan
umum (Pemilu) 2014 mendatang, akhirnya disepakati Panitia Khusus,
(Pansus) Rancangan Undang-Undang (RU) Pemilu DPR RI , meski
ada beberapa anggota Pansus yang keberatan. Walaupun sudah disepakati, namun
Pansus RUU Pemilu belum menyepakati berapa besaran sumbangan maksimal dan dana
kampanye maksimal yang dibolehkan kepada suatu partai politik.
Pembatasan dana kampanye yang akhirnya disahkan itu dijelaskan dalam pasal-pasal
mengenai pengawasan terhadap besaran sumbangan dan kampanye suatu partai
politik.yang diperbolehkan masih akan dirumuskan. Adanya pembatasan sumbangan
dan dana kampanye harus sejalan dengan pengawasan yang kuat terhadap partai
politik. Dikatakan, pasal-pasal yang yang terkait dengan pembahasan sumbangan
dan dana kampanye meliputi besaran maksimal sumbangan perorangan dan lembaga,
penggunaan dana untuk kampanye, sistem pelaporan keuangan parpol, serta audit
oleh akuntan publik yang ditunjuk oleh Komisi Pemilihan Umum.
Keuangan partai politik akan diaudit oleh akuntan publik
secara periodik setiap empat bulandan adanya aturan pembatasan sumbangan dan
dana kampanye ini agar pengelolaan keuangan partai politik lebih transparan.
Kesepakatan adanya pembatasan sumbangan dan dana kampanye
dicapai setelah terjadi perdebatan alot di antara anggota panitia khusus.
Sebenarnya, kesepakatan tersebut diputuskan meski ada beberapa anggota Pansus
yang keberatan. Namun Pansus RUU Pemilu DPR RI belum menyepakati berapa besaran
sumbangan maksimal dan dana kampanye maksimal yang dibolehkan kepada suatu
partai politik. Beberapa hal yang belum dibahas lebih lanjut adalah berapa
dana kampanye maksimal yang diperbolehkan, apakah pembatasan dana itu dilakuan
per daerah pemilihan, per calon legislatif, atau per partai politik.
Perdebatan RUU Pemilu sepertinya belum akan selesai dalam waktu dekat. Perdebatan RUU Pemilu sampai
April 2012 terhitung sudah lewat setengah tahun Rancangan Undang-undang Pemilu
dibahas. Partai-partai di parlemen
masih berdebat mengenai sejumlah isu krusial sejak pertama kali Panitia Khusus
RUU Pemilu bekerja mulai 4 Oktober 2011. Permasalahan mundurnya waktu
penggodokan RUU ini karena ada empat poin krusial yang sampai saat ini belum
ada titik temu.
Poin krusial pertama menyangkut sistem pemilu, terbuka atau
tertutup. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, adalah yang mendukung kuat
sistem tertutup atau dikenal juga sebagai sistem nomor urut. Masalah kedua,
ambang parlemen atauparliamentary threshold. Dalam masalah ini, ada yang
masih bertahan tiga persen, ada yang sudah turun jadi empat persen. Ketiga,
masalah jumlah kursi per daerah pemilihan. Ada yang mengusulkan diciutkan jadi
3 sampai 8 kursi, ada pula yang bertahan 3-10 kursi seperti dipakai di Pemilu
2009. Kemudian ada pula masalah dana kampanye. Dan rapat konsultasi terakhir,
kalau memang tidak ada titik temu, maka pada paripurna 12, anggota dewan tidak
lagi akan melakukan banyak interupsi, tapi langsung pada pengambilan keputusan
pada hal-hal yang belum ada titik temunya.
Perdebatan RUU Pemilu kemungkinan besar akan menmpuh voting dalam paripurna yang
digelar di paripurna pada Rabu 11 April ini. Namun PPP berharap partai-partai
yang mengusung ambang empat persen bisa turun ke tiga persen. DPR akan
memperpanjang masa sidang selama satu minggu untuk menyelesaikan sejumlah
rancangan undang-undang. RUU yang belum selesai itu antara lain RUU Pemilu, RUU
Keistimewaan DIY, RUU Pendidikan Tinggi dan beberapa perangkat Undang-undang
yang membutuhkan waktu yang lebih lama.
Sebagai
pembanding, pada Pemilu 2004, tiap TPS maksimal untuk 300 pemilih. Saat itu
kita memiliki 571.000 TPS di seluruh Indonesia. Dapat dibayangkan pada Pemilu
2014, berapa banyak TPS yang kita butuhkan karena jumlah penduduk yang kian
meningkat. Kalau saja pemilih di setiap TPS dinaikkan jadi 1.000 orang atau
lebih, maka akan terjadi efisiensi yang luar biasa untuk semua pihak. Bagi
pemerintah, 1.000 pemilih atau lebih per TPS berarti pengurangan biaya
penyelenggaraan pemungutan suara karena adanya pengurangan jumlah petugas
pelaksana pemilu dan petugas keamanan, dan kemungkinan kotak dan bilik suara.
Sementara bagi partai politik, berarti mengurangi biaya untuk
saksi dan lain-lain. Tentu saja angka ini harus dikecualikan di Papua yang
bermedan amat berbeda dengan wilayah Indonesia lainnya.
Perdebatan RUU Pemilu dari Senayan juga menyangkut pengaturan penggunaan wilayah
publik untuk kampanye, bukan sekadar asal muasal dan jumlah dana kampanye.
Ihwal wilayah publik ini penting mengingat tak semua politisi dan partai punya
akses media massa yang sama.
Seharusnya, UU Pemilu juga mengatur secara rinci durasi waktu
bagi setiap calon anggota legislatif atau partai tampil di media elektronik.
Prinsip equality for all berlaku bagi siapa pun, termasuk politisi atau partai
yang terkait media elektronik yang dimaksud, karena media penyiaran elektronik
adalah ranah publik yang di dalamnya terdapat hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang berimbang.
UU Penyiaran memang mengatur penggunaan durasi di media
elektronik ini, tetapi masih bersifat umum. UU Pemilu-lah yang seharusnya secara spesifik mengatur batasan durasi waktu yang adil bagi para calon anggota legislatif dan parpol, karena kampanye adalah bagian integral dari pemilu. Mekanisme pengawasan tentang hal ini, secara institusional, ada baiknya diserahkan kepada Badan Pengawas Pemilu dan Komisi Penyiaran Indonesia.
Referensi diambil dari web, buku, dan sumber terpercaya