Monday, 5 May 2014

Pahamilah Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara


Pada kesempatan ini, penulis mau mengingatkan kembali kepada pembaca, hubungan dari seluruh komponen bangsa agar pelaksanaan dan penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, terus dijalankan dengan tetap megacu pada tujuan negara yang dicita-citakan, serta bersatupadu mengisi pembangunan, agar bangsa ini dapat lebih maju dan sejahtera. 

Berikut ini adalah konsep Bung Karno mewujudkan cita-cita Bangsa Indonesia;

Salah satu karakteristik Indonesia sebagai negara-bangsa adalah kebesaran, keluasan dan kemajemukannya. Sebuah negara-bangsa yang mengikat 1.128 (seribu seratus dua puluh delapan) suku bangsa (data BPS) dan bahasa, ragam agama dan budaya di sekitar 17.508 (tujuh belas ribu lima ratus delapan) pulau (citra satelit terakhir menunjukkan 18.108 pulau), yang membentang dari 6o08' LU hingga 11o15' LS, dan dari 94o45' BT hingga  141o05' BT (Latif, 2011: 251; United nations Environment Program, UNEP, 2003). Untuk itu diperlukan suatu konsepsi, kemauan, dan kemampuan yang kuat dan adekuat (memenuhi syarat/memadai), yang dapat menopang kebesaran, keluasan, dan kemajemukan ke Indonesiaan.  

Para pendiri bangsa berusaha menjawab tantangan tersebut dengan melahirkan sejumlah konsepsi kebangsaan dan kenegaraan, antara lain yang berkaitan dengan dasar negara, konstitusi negara, bentuk negara, dan wawasan kebangsaan yang dirasa sesuai dengan karakter keindonesiaan. Konsepsi pokok para pendiri bangsa ini tidak mengalami perubahan, tetapi yang bersifat teknis instrumental mengalami penyesuaian pada generasi penerus bangsa ini.

Setiap bangsa harus memiliki suatu konsepsi dan konsensus bersama menyangkut hal-hal fundamental bagi keberlangsungan, keutuhan, dan kejayaan bangsa yang bersangkutan. Dalam pidato di Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada 30 September 1960, yang memperkenalkan Pancasila kepada dunia, Presiden Soekarno mengingatkan pentingnya konspesi dan cita-cita bagi suatu bangsa: "Arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tak memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya" (Soekarno, 1989)

Setiap bangsa memiliki konsepsi dan cita-citanya masing-masing sesuai dengan kondisi, tantangan, dan karakteristik bangsa yang bersangkutan. Dalam pandangan Soekarno, "Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama. Tiap karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu mempunyai kepribadian sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya dan lain-lain sebagainya" (Soekarno, 1958)

Konsepsi pokok yang melandasi semua hal itu adalah semangat gotong-royong. Bung Karno mengatakan, "Gotong Royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan. Saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu paham yang statis, tetapi gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan. Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, perjuangan bantu binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis kuntul baris, buat kepentingan bersama! Itulah gotong royong." (dikutip dari Pidato Bung Karno, 1 Juni 1945)

Dengan semangat gotong royong itu, konsepsi tentang dasar negara dirumuskan dengan merangkum lima prinsip utama (sila) yang menyatukan dan menjadi haluan keindonesiaan, yang dikenal sebagai Pancasila. Kelima sila itu terdiri atas: 1) Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Kehidupan bangsa Indonesia akan semakin kukuh, apabila segenap komponen bangsa, disamping memahami dan melaksanakan Pancasila, juga secara konsekuen menjaga sendi-sendi utama lainnya, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika, sebagai Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Brnegara.

Dengan demikian, perjuangan ke depan adalah tetap mempertahankan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, Undang0Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai landasan konstitusional, Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk negara dan wadah pemersatu bangsa, serta Bhinneka tunggal Ika sebagai semboyan negara yang merupakan modal untuk bersatu dalam kemajemukan.

Sumber:
Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014
Empat Pilar kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: April 2013

Friday, 2 May 2014

[Realita] Mahasiswa Takut Nikah Saat Kuliah




5 Alasan Mahasiswa Takut Nikah Saat Kuliah

(KabarKampus.com) - Masih mahasiswa udah nikah? “Waw, pasti mereka hamil di luar nikah!“ Itu yang seringkali kita dengar ketika mahasiswa memilih nikah muda ketimbang pacaran. Anggapan itu beralasan karena tidak dipungkiri kehidupan mahasiswa saat ini tidak jauh dengan seks bebas.

Padahal bukan hanya perkara seks. Pernikahan berkaitan dengan masa depan, ibadah, keuangan, kecocokan, lingkungan sosial dan segala macam. Pernikahan menuntut bahagia dan susah bersama. Maka mahasiswa yang sudah berani menikah, adalah pasangan yang bertanggung jawab atas cinta mereka.

Namun tidak mudah untuk menjadi pasangan yang bertanggung jawab. Itulah kenapa banyak pasangan mahasiswa menahan gejolak asmara mereka hingga keluar ijazah kuliah.

Berikut 5 alasan kenapa mahasiswa takut nikah saat kuliah :

1. Kuliah Lebih Penting

Dengan kesibukan kuliah saja para mahasiswa akan merasa sangat kerepotan. Baik karena aktivitas organisasi, kuliah yang padat dan tugas-tugas kuliah yang menumpuk. Bayangkan saja dengan kerepotan itu masih harus mengurus rumah tangga, membereskan rumah, hingga menangani permasalahan yang nanti timbul antara suami istri. Bahkan, jika anak telah lahir, mereka harus kerepotan untuk mengurusnya. Pemikiran semacam itu tentu sudah sangat mengerikan. Betapa melelahkannya mengurus rumah tangga sambil kuliah. Dikarenakan keluarga adalah hal utama dalam hidup, tentu kita akan lebih memilih keluarga dan menelantarkan kuliah. Maka sia-sialah perjuangan sang mahasiswa itu ketika masuk universitas impian dengan perjuangan melalui tahun-tahun perkuliahannya.

2. Belum Memadai Secara Finansial

Mungkin sebagian mahasiswa ada yang telah bekerja sambil kuliah, dan ada pula yang masih bergantung pada orangtua. Adapun mahasiswa yang sambil bekerja, tentu hal ini sangat berat. Biasanya mereka harus bekerja keras untuk mencari tambahan dalam membiayai kuliahnya. Akan sangat berat baginya jika ditambah harus menafkahi keluarga. Apalagi dengan mahasiswa yang sepenuhnya bergantung pada orangtua. Ia bahkan belum siap secara finansial, akhirnya kebutuhan keluarga masih dibebankan kepada keluarga. Ada pepatah yang mengatakan “cinta saja tidak cukup,“ atau “memang mau dikasih makan batu?

Walaupun kita termakan dengan cinta, ada kenyataan kehidupan yang tidak bisa dipungkiri bahwa kita butuh terhadap materi.

3. Tanggung Jawab

Menikah berarti memiliki tanggung jawab yang besar terhadap pasangan dan anak nantinya. Terutama bagi pria. Di mana tidak hanya kebutuhan materi yang harus dipenuhi, tapi bagaimana istri dan anaknya kelak harus aman, baik dari segi fisik maupun psikis. Ketika dua orang menikah, mereka akan menghadapi banyak sekali permasalahan dalam hidup, baik di dalam rumah tangga ataupun dari pihak eksternal. Ketika menjadi mahasiswa tanggung jawab mereka hanya terhadap orangtua untuk meningkatkan penghargaan mereka di mata masyarakat, serta tanggungjawab terhadap diri sendiri untuk menyelesaikan sesuatu yang mereka mulai dan inginkan sejak dulu. Jika menikah semua tanggungjawab itu harus ditanggung sepenuhnya. Begitupula dengan segala permasalahannya yang harus dapat mereka pikul.

4.Belum Cocok

Jika belum cocok kenapa harus menikah? Toh, kita tidak mungkin menikah asal-asalan hanya karena rasa suka sesaat, atau karena hawa nafsu yang dapat membuat kita nantinya terjerumus dalam dosa. Akan lebih baik menahan semua itu dan bersabar. Menikah bukan perkara mudah. Jika tidak ada kecocokan, maka bersiaplah untuk menjalani pernikahan seumur jagung, dan menghasilkan calon anak dengan kondisi mental yang retak dan trauma berkomitmen ketika mereka berada dalam usia orangtuanya saat ini.

5. Tersandung Izin Orangtua

Restu orangtua adalah hal yang sangat penting. Sedikit sekali orangtua yang mengizinkan anaknya menikah muda. “Percuma saja dikuliahkan mahal-mahal kalau kuliahnya terbengkalai.” pikir mereka. Orangtua melarang menikah kadang bukan tak merestuhi hubungan cinta anaknya tapi mereka punya pertimbangan lain. Orangtua kita sering merasa paling tahu kehidupan anaknya di masa depan.

Jadi, menikah sekarang atau nggak, itu pilihan. Atau kamu beraninya cuman pacaran? []

Sumber:
http://kabarkampus.com/2013/02/5-alasan-kenapa-mahasiswa-takut-nikah-saat-kuliah/