Sunday 20 May 2012


Persaingan Kompetitif Menjelang Pemilu 2014

            Sistem Politik  Indonesia telah mempraktikan beberapa sistem politik atas nama demokrasi. Demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti “rakyat” dan kratoz yang berarti “pemerintah”. Demokrasi di sini dapat diartikan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
            Sistem demokrasi politik, mau tidak mau, akan mempengaruhi tata cara Pemilu yang ada di Indonesia. ”Demokrasi Pemilu” di Indonesia sudah dilakukan sebanyak 10 kali. Pemilu di Indonesia diadakan pertama kali pada tahun 1955. Berikut ini paparan mengenai Pemilu di Indonesia.

Pemilu 1955
Pemilu 1955 merupakan Pemilu yag pertama kali dilakukan di Indonesia sejak kemerdekaan Republik Indonesia pada 1945, jarak 10 tahun sebelum diadakannya Pemilu. Pemilu pertama berhasil dilaksanakan dengan aman, lancar, jujur, dan adil (LUBERJURDIL –pen) serta demokratis. Bahkan, Pemilu pertama ini mendapatkan pujian dari negara asing.
Pemilu ini diikuti oleh sekitar 30 partai dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan. Pemilu 1955 dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memmilih anggota DPR dan memilih anggota dewan konstitusi. 

Periode Demokrasi Terpimpin
Demokrasi Terpimpin diawali dengan keluarnya dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan konstituante dan pernyataan kembali UUD 1945. Pada zaman Demokrasi Terpimpin ini Pemilu tidak pernah dilaksanakan kembali.
Pemilu 1971
Pemilu kedua dilaksanakan  pada 5 Juli  1971 setelah 4 tahun Soeharto menjadi presiden. Waktu itu, ketentuan tentang partai (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yag diterapkan Presiden Soekarno. Perbedaan pemilu kedua dengan yang pertama adalah pada Pemilu pertama 1955, pejabat Negara yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal.
Sementara itu, pada Pemilu 1971, pejabat negara diharuskan bersikap netral. Namun, praktiknya tidaklah demikian. Para pejabat negara berpihak pada satu partai, yaitu Golkar.

Pemilu 1977, 1982, 1987, 1999, dan 1997
Sejak pemilu keuda, Pemilu berikutnya terlakasana secara lancar dalam pelaksanaan Pemilu sejak 1997, terjadi pengurangan partai. Hanya 3 partai, yaitu Golkar (Golongan Karya), PDIP (Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia), dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan).
Dalam 5 kali Pemilu ini, hasil pemenangnya sama, yaitu Golkar, PDIP, dan PPP, seperti terlihat, hanya sebagai pelengkap. Pada Pemilu 1997, terjadi kerusuhan karena kecurangan hasil suara yang terjadi di beberapa daerah. Puluhan kotak suara dibakar. Di beberapa tempat, diadakan Pemilu ulang.

Pemilu 1999
Setelah Presiden Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, kursi presiden diganti oleh wakil presiden pada waktu itu, yaitu Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan rakyat, Pemilu akhirnya dipercepat dengan diikuti oleh 48 partai.

Pemilu 2004
Pada Pemilu sebelumnya, rakyat hanya memilih partai. Presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR yang anggota-anggotanya dipilih oleh presiden. Namun, pada Pemilu 2004 rakyat langsung memilih presiden dan wakilnya, pada Pemilu sebelumnya pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan secara terpisah.
Pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai dan dibagi menjadi 3 tahap, yaitu sebagai berikut :
1.      Pemilu legislatif, dilaksanakan pada 5 April 2004, yaitu Pemilu yang dilakukan untuk memilih partai politik,diikuti oleh 24 partai politik dengan anggota yang akan dicalonkan menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD.
2.      Pemilu presiden putaran kedua, pada 5 Juli 2004 dilaksanakan untuk memilih calon presiden dan wakil presiden secara langsung.
3.      Pemilu presiden putaran ketiga, pada 20 September 2004 adalah tahap terakhir yang dilaksanakan apabila tahap kedua belum ada calon presiden dan wakilnya yang mendapatkan suara paling tidak 50 persen.

Pemilu 2009   
Pemilu yang dilaksanakan pada 8 Juli 2009. Adalah pemilu yang dilakukan kedua kalinya, rakyat langsung memilih presiden dan wakilnya. Pemilu ini diikuti sebanyak 38 partai politik dan dimenangi oleh Susilo Bambang Yudhoyono – Boediono.

Menurut Para Ahli Definisi Demokrasi
            Menurut Jeff Haynes (1997) ada 3 (tiga) macam sebutan demokrasi yaitu:
Pertama; demokrasi formal (Formal Democracy) dalam kehidupan demokrasi ini secara formal pemilu dijalankan dengan teratur, bebas, dan adil. Tidak terjadi pemaksaan oleh negara terhadap masyarakatnya. Ada kebebasan yang cukup untuk menjamin dalam pemilihan umum. Namun demokrasi formal tersebut belum menghasilkan sebagaimana yang digunakan masyarakat yaitu; kesejahteraan masyarakat yang didukung terwujudnya stabilitas ekonomi dan politik. Model demokrasi seperti ini kemungkinan bisa dianalogikan dengan situasi dan kondisi di era reformasi saat ini yang tengah berlangsung.
            Kedua; demokrasi permukaan (Façade Democracy); yaitu demokrasi seperti yang tampak dari luarnya memang demokrasi, tetapi sesungguhnya sama sekali tidak memiliki susbstansi demokrasi. Demokrasi model ini kemungkinan lebih tepat jika dianalogikan dengan situasi dan kondisi demokrasi pada masa Orde Baru.
Ketiga; demokrasi substantif (Substantive Democracy), demokrasi model ini memberikan ruang yang lebih luas bagi masyarakat, mungkin saja diluar mekanisme formal.
Sehingga kebebasan yang dimiliki masyarakat mampu mendapatkan akses informasi yang akurat dalam pengambilan keputusan penting oleh negara atau pemerintah. Jadi demokrasi susbstantif tersebut memberikan keleluasaan yang lebih dinamis tidak hanya demokrasi politik saja seperti selama ini dirasakan, tapi juga demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi.[1]

Korelasi Pemilu dan Demokrasi
            Demokrasi adalah sebuah sistem politik yang mencari dan mengarahkan gerakan masyarakat dalam hal mencapai konsep peradabannya. Dalam perspektif dan praktik demokrasi, dapat pula disebut sebagai pemerintahan  oleh rakyat yang dijalankan oleh perwakilan yang mereka pilih sendiri melalui suatu pemilihan umum (pemilu) yang berlangsung secara demokratis dan berkala.
Menurut Henry B. Mayo, dengan adanya Pemilihan Umum maka salah satu nilai demokrasi dapat terwujud, artinya terjadi perpindahan kekuasaan negara dari pemegang yang lama kepada pemegang yang baru secara damai.
Pemilihan Umum merupakan salah satu sendi untuk tegaknya sistem politik demokrasi. Tujuan Pemilihan Umum tidak lain adalah untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip demokrasi, dengan cara memilih wakil-wakil rakyat di Lembaga Perwakilan Rakyat. Kesemuanya itu dilakukan dalam rangka mengikut sertakan rakyat dalam kehidupan ketatanegaraan.
Salah satu fungsi utama Pemilu dalam negara demokratis tidak lain adalah untuk  menentukan Kepemimpinan Nasional secara konstitusional. Kepemimpinan Nasional yang dimaksud disini menyangkut juga kepemimpinan kolektif yang direfleksikan dalam diri para Wakil Rakyat. Oleh sebab itu dalam bentuk dan jenis sistem pemerintahan apapun, Pemilu menduduki posisi yang sangat strategis dalam rangka melaksanakan tujuan tersebut. Dalam sistem presidensiil yang murni, Pemilu diselenggarakan sebanyak dua kali, yaitu pertama, untuk menentukan wakil rakyat yang duduk di parlemen. Kedua, untuk menentukan Presiden (Kepala Pemerintahan) dalam rangka menyelenggarakan Pemerintahan Negara.
Dalam suatu sistem politik demokrasi, kehadiran pemilu  yang bebas dan adil (free and fair) adalah suatu keniscayaan. Bahkan negara manapun sering menjadikan pemilihan umum sebagai klaim demokrasi atas sistem politik yang dibangunnya. Di negara-negara berkembang pemilihan umum sering kali tidak dapat dijadikan parameter yang akurat dalam mengukur demokrasi atau tidaknya suatu sistem politik. Artinya, ada tidaknya pemilu di suatu negara tidak secara otomatis menggambarkan ada atau tidaknya kehidupan demokrasi politik di negara tersebut. Hal ini disebabkan, pemilu di beberapa negara dunia ketiga seringkali tidak dijalankan dengan menggunakan prinsip-prinsip demokrasi.
Ada beberapa alasan mengapa pemilu sangat penting bagi demokrasi khususnya di negara-negara Dunia ketiga, yaitu: Pertama, melalui  pemilu memungkinkan suatu komunitas politik melakukan transfer kekuasaaan secara damai. Kedua, melalui pemilu akan tercipta pelembagaan konflik.
Secara konseptual, terdapat dua mekanisme untuk menciptakan pemilu yang bebas dan adil. Pertama, menciptakan seperangkat metode atau aturan untuk mentransfer suara pemilih ke dalam suatu lembaga perwakilan rakyat secara adil, atau yang disebut oleh banyak kalangan ilmuwan politik disebut dengan sistem pemilihan (electoral system). Kedua, menjalankan pemilu sesuai dengan aturan main dan prinsip-prinsip demokrasi, atau yang oleh kalangan ilmuwan politik disebut denga proses pemilihan (electoral process).
Sebagaimana disebutkan oleh Sjamsudin Haris (2005:2), pertama, Pemilihan langsung diperlukan untuk memutuskan mata rantai oligarki partai yang harus diakui cenderung mewarnai kehidupan partai-partai politik. Kepentingan partai-partai itulah dan bahkan kepentingan elit politik seringkali dimanipulasi sebagai kepentingan kolektif masyarakat. Dengan demikian pemilihan umum secara langsung bagi calon anggota legislatif dari partai politik, diperlukan guna meminus mata rantai politisasi atas partisipasi publik dan aspirasi publik yang cenderung dilakukan oleh partai-partai politik dan para politisi partai bilamana dipilih oleh elit politik di parlemen.   
Pemilihan umum secara lagsung oleh rakyat, akan lebih meningkat kualitas partisipasi rakyat di satu pihak dan keterwakilka elit di lain pihak, karena masyarakat dapat menentukan sendiri siapa yang dianggap pantas dan layak yang akan menjadi calon anggota legislatif dan partai politik untuk membawa aspirasi masyarakatnya, baik di pusat maupun lokal.
Bagi Larry Diamond (2003: 103-107), Pemilihan Umum bebas dan adil yang dilakukan secara berkala, meskipun memenuhi aspek kompetisi dan partisipasi, hanya menjanjikan demokrasi pemilihan yang secara katagoris berbeda dengan demokrasi liberal. Selanjutnya Diamond merumuskan bahwa, demokrasi pemilihan adalah suatu sistem konstitusional yang menyelenggarakan pemilihan umum multipartai yang kompetitif dan teratur dengan hak pilih universal untuk memilih anggota legislatif dan kepala eksekutif.[2] Mengutip dari Caller dan Levitsky. Diamond mengidentifikasi sistem seperti itu sebagai demokrasi prosedural yang diperluas. Darmawan (2008:85) menyatakan bahwa yang terpenting dalam pemilu adalah substansi demokrasi bukan klaim politis atas kedemokrasiannegara yang dibangun.
Pemilihan dan pemilihan suatu sistem Pemilihan umum (pemilu) merupakan salahsatu keputusan kelembagaan yang penting bagi negara-negara yang berupaya untuk menegakkan keberadaban dan keberkualitasan sistem politik. Karena sistem pemilihan umum akan menghasilkan logika-logika politik, atas laksana administrasi, berjalannya birokrasi, hingga tumbuh dan berkembangnya civil society di dalam sistem selanjutnya.
Kehendak rakyat ialah dasar  kekuasaaan pemerintah.kehendak itu akan dilahirkan dalam pemilihan-pemilihan berkala dan jujur yang dilakukan dalam pemilihan umum dan berkesamaan atas pengaturan suara yang rahasia, dengan cara pemungutan suara yang bebas dan sederajat dengan itu. Dengan demikian kebebasan, kejujuran, rahasia dan berkesamaanmerupakan hal yang esensial dalam penyelenggaraan pemilu.

Reformasi Pemilu Dan Agenda Konsolidasi Demokrasi : Perspektif Ketatanegaraan
Pemilu memiliki fungsi untuk melakukan kondisi yang kondusif bagi konsolidasi upaya pada demokrasi dan pemilu untuk mengubah demokrasi menuju demokrasi konstitusional yang
stabil. Meskipun tidak semua agenda yang relevan mungkin diwujudkan oleh atau berdasarkan pemilihan umum, tetapi sebagai empiris diketahui bahwa setelah pemilihan umum yang diselenggarakandua posting era Orde Baru , telah berhasil pada melakukan sebuah kepercayaan di mata masyarakat bahwa demokrasi adalah "satu-satunya permainan di kota". Kepercayaan ini memiliki masih hidup bahkan selama jangka politik dan ekonomi dalam situasi yang buruk.
Kata kunci: demokrasi elektoral, demokrasi konstitusional, konsolidasi demokrasi.
Selepas rezim Orde Baru, Pemilu dengan segera diyakini sebagai salah satu instrument untuk mendorong proses demokratisasi di Indonesia. Hanya berselang 10 bulan setelah menggantikan Soeharto, Presiden B.J. Habibie memberlakukan UU Partai Politik dan UU Pemilu pada tanggal 1 Februari 1999. Kedua UU tersebut menjadi dasar bagi pelaksanaan Pemilu yang relatif bebas dan demokratis di Indonesia. Setelah itu terbentuk pemerintahan baru yang kendatipun berkuasa di tengah hingar bingar politik, tetapi akhirnya berhasil mengadakan Pemilu berikutnya pada tahun 2004 yang juga terhitung bebas dan demokratis.[3]
Keyakinan akan Pemilu sebagai instrumen demokrasi bukan hal baru dalam sejarah Indonesia merdeka. Bahkan rezim otokratis semisal Orde Baru pun tetap melaksanakan Pemilu secara berkala sebagai wujud pelaksanaan Demokrasi Pancasila. Kendatipun pelaksanaannya jauh dari kaidah demokrasi, namun Pemilu telah menjadi instrumen terpenting yang membentuk keyakinan dan tradisi politik pada seluruh rakyat Indonesia akan signifikasi Pemilu dalam kehidupan demokrasi. Tak heran bila selepas Orde Baru rakyat tetap menunjukkan sikap antusiasnya dalam mengikuti Pemilu.
Dari Demokrasi Elektoral ke Demokrasi Konstitusional
Secara teoretis keyakinan akan Pemilu sebagai instrumen terpenting bagi demokratisasi memperoleh legitimasi yang kuat dari Samuel P. Huntington dalam buku The Third Wave of Democratization in The Late Twentieth Century (1993). Dalam bukunya yang monumental itu, Huntington mendefinisikan demokrasi dengan merujuk pada pendapat Joseph Schumpeter dalam bukunya yang diterbitkan pertama kali tahun 1942. Dalam buku yang berjudul Capitalism, Socialism, dan Democracy, Schumpeter mendefinisikan demokrasi secara prosedural dengan Pemilu sebagai esensi demokrasi.
Akan tetapi, Huntington segera menambahkan bahwa sistem demokrasi tak cukup hanya dengan Pemilu. Pemilu yang bebas, jujur, dan kompetitif hanya dimungkinkan bila terdapat kebebasan berpendapat, berkumpul, dan pers, serta jika kandidat dan partai oposisi dapat melakukan kritik terhadap penguasa tanpa ketakutan akan terjadinya pembalasan (Huntington, 2000:6).[4]
Dengan demikian, pemilu bukan segala-galanya dalam demokrasi. Secara brilian Larry Diamond menggambarkan tesis itu dengan membedakan antara electoral democracy dan liberal democracy. Demokrasi elektoral adalah demokrasi procedural sebagaimana yang dimaksudkan oleh Huntington, sedangkan yang dimaksud dengan demokrasi liberal dilukiskan oleh Diamond adalah :
In a liberal democracy, the military is subordinated, the executive is constrained, the constitution is supreme, due process is respected, civil society is autonomous and free, citizens are politically equal, women and minorities have access to power, and individuals have real freedom to speak and publish and organize and protest (Diamond, 2000:17).
            Dalam perspektif yang sama Greg Russell menyebutnya sebagai demokrasi konstitusional, yakni demokrasi yang berakar pada gagasan liberal yang menghendaki adanya pembatasan kekuasaan dan perlindungan HAM. Berkenaan dengan pembedaan tersebut, Diamond mencatat adanya lompatan negara-negara yang melaksanakan electoral democracy sejak tahun 1990, meningkat hampir 20 persen dan sejak tahun 1995 praktis seluruh dunia melaksanakan electoral democracy, termasuk Indonesia pada tahun 1999 (Lihat tabel 1).
TABEL 1—JUMLAH DEMOKRASI PEMILU, 1974, 1990-98

Tahun

Jumlah Demokrasi

Jumlah
Negara
Demokrasi sebagai % dari semua Negara
Tahunan Tingkat Peningkatan Demokrasi
1974
39
142
27,5%
n/a
1990
76
165
46,1%
n/a
1991
91
183
49,7%
19,7%
1992
99
186
53,2%
8,1%
1993
108
190
56,8%
8,3%
1994
114
191
59,7%
5,3%
1995
117
191
61,3%
5,3%
1996
118
191
61,8%
0,9%
1997
117
191
61,3%
-0,9%
1998
117
191
61,3%
0,0%
Keterangan : Angka untuk 1990-1995 adalah untuk akhir tahun kalender.     
Angka untuk 1974 mencerminkan perkiraan saya jumlah negara demokrasi di dunia pada bulan April 1974, saat dimulainya gelombang ketiga. Sumber: Larry Diamond, 2000: 15.

Namun pada saat bersamaan Diamond pun mencatat kecenderungan yang kontradiktif: di satu pihak terjadi pertumbuhan demokrasi elektoral, tetapi di lain pihak tejadi stagnasi dalam demokrasi konstitusional (liberal). Menurut dia, kecenderungan seperti itu merupakan petunjuk dari terjadinya kedangkalan demokratisasi (shallowness of democratization) dalam periode akhir  dari gelombang ketiga. Selama enam tahun pertama dari 1990-an, jarak antara demokrasi elektoral dan demokrasi konstitusional semakin melebar. Dari seluruh proporsi negara demokrasi di dunia, negara “bebas” menurun dari 85 persen pada 1990 menjadi 65 persen pada 1995. Proporsi tersebut meningkat menjadi 69 persen pada 1997, dan semakin signifikan menjadi 74 persen pada 1998.[5]
Situasi kontradiktif seperti itu menunjukkan, bahwa semakin banyak negara yang gagal memetik keuntungan dari demokrasi elektoral dan bahkan menghasilkan pemerintahan yang tidak efisien, korup, rabun, tidak bertanggung jawab, dan didominasi oleh kepentingan jangka pendek. Situasi ini melahirkan kekhawatiran akan terjadinya arus balik yang disebut Diamond
sebagai “the third reverse wave”. Dalam konteks inilah proses konsolidasi demokrasi menjadi keniscayaan.
Esensi dari konsolidasi demokrasi adalah legitimasi: pertumbuhan keyakinan–di antara para elite dan warga negara dari partai politik utama, kepentingan, etnisitas, dan ideologi –bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan terbaik dan bahwa aturan-aturan yang disediakan di dalamnya merupakan satu-satunya alat untuk memperoleh kekuasaan (Diamond, 2000: 23) atau dalam ungkapan Juan J. Linz (2001: 27), demokrasi menjadi “the only game in town” (satu-satunya aturan yang berlaku). Keyakinan akan demokrasi tersebut bahkan tetap terpelihara dalam situasi politik dan ekonomi yang sangat buruk sekalipun, sehingga mayoritas rakyat tetap meyakini perubahan politik harus tetap dilakukan berdasarkan parameter parameter yang terdapat dalam prosedur demokratis. Jadi, konsolidasi demokrasi membutuhkan lebih dari sekedar pemilu.
Untuk melancarkan konsolidasi demokrasi tersebut, Diamond mengajukan beberapa agenda: 1) Memperluas akses warga negara terhadap sistem peradilan dan membangun suatu rule of law yang sesungguhnya; 2) Mengendalikan perkembangbiakan korupsi politik yang dapat meningkatkan sinisme dan pengasingan dari proses politik; 3) Penguatan pembuatan hukum dan kekuasaan investigatif badan legislatif sehingga menjadi badan yang profesional dan independen; 4) Desentralisasi kewenangan negara dan penguatan pemerintahan daerah, sehingga demokrasi dapat lebih responsif dan bermakna bagi seluruh warga negara di seluruh wilayah suatu negara; 5) Menciptakan partai-partai politik yang mampu memobilisasi dan merepresentasikan kepentingan yang berkembang di masyarakat—bukan hanya kepentingan personal para pemimpin dan lingkungan para politisi belaka;  6) Membangun kekuatan masyarakat sipil dan media yang independen yang dapat memelihara modal sosial, partisipasi warga, membatasi tetapi memperkuat kewenangan konstitusional dari negara;  
7) Memperkenalkan, baik di dalam maupun di luar sistem persekolahan, program pendidikan warga yang baru yang dapat menumbuhkan kemampuan untuk berpartisipasi dan meningkatkan toleransi, nalar, moderasi, dan kompromi, yang merupakan tanda dari kewargaan yang demokratis (2000: 24).
Agenda konsolidasi yang ambisius tersebut memerlukan adanya peningkatan aturan hukum baru, penumbuhan lembagalembaga baru dan penguatan kapasitas lembaga-lembaga negara, sistem kepartaian, dan masyarakat sipil. Dalam keyakinan Diamond
apabila upaya-upaya tersebut berhasil, maka dalam waktu 10-15 tahun akan terjadi transformasi dari demokrasi elektoral menuju suatu demokrasi liberal atau demokrasi konstitusional yang stabil.
Sementara itu Juan Linz menyebutkan ada lima kondisi yang saling berkaitan dan saling menguatkan satu sama lain yang diperlukan agar demokrasi terkonsolidasi, yakni: (1) kondisi yang memungkinkan pengembangan masyarakat sipil yang bebas; (2) adanya masyarakat politik yang otonom; (3) kepatuhan dari seluruh pelaku politik utama, terutama dari para pejabat pemerintahan pada rule of law; (4) harus terdapat birokrasi negara yang dapat dipergunakan oleh pemerintahan demokratik baru (usable bureaucracy); (5) keharusan akan adanya masyarakat ekonomi yang terlembagakan (Linz, 2001:28-34).
Dalam kaitannya dengan pemilu, Linz memasukan pemilu dan aturan pemilu ke dalam ranah masyarakat politik (political society). Linz sendiri menyebut, bahwa pada dasarnya kekuatan masyarakat sipil dapat menghancurkan rezim non-demokratik, tetapi untuk kepentingan konsolidasi demokrasi harus menyertakan masyarakat politik. Konsolidasi demokrasi mensyaratkan adanya peningkatan apresiasi warga negara atas lembaga inti dalam suatu masyarakat politik yang demokratis, yakni partai politik, legislatif, pemilu, aturan pemilu, kepemimpinan politik, dan aliansi antarpartai (Linz, 2001: 29).
Pemilu pun dapat menjadi petunjuk dari berjalannya sistem peradilan kita dalam kehidupan demokrasi. Penyelesaian sengketa pemilu, baik pemilu legislatif maupun Presiden, yang diajukan oleh masyarakat kepada Mahkamah Konstitusi serta penyelesaian sengketa Pilkada kepada Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung menunjukkan pengakuan masyarakat akan peran dan independensi pengadilan dalam resolusi konflik sekaligus menunjukkan tingkat kesadaran hukum warga negara yang sudah relatif baik.
Berperannya Komisi Yudisial dalam kontroversi putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat dalam Pilkada Depok memperlihatkan perkembangan yang cukup menggembirakan dalam dunia hukum dan peradilan nasional. Namun demikian, pada saat bersamaan pelaksanaan Pemilu pun mencuatkan sejumlah kasus memalukan dengan terungkapnya tindakan suap dan korupsi yang dilakukan oleh sebagian anggota dan pegawai KPU serta KPUD di sejumlah daerah. Kasus korupsi di KPU/KPUD ini seperti meneguhkan kecenderungan korupsi di dunia politik, termasuk di sejumlah DPRD, yang semakin memperburuk citra kehidupan politik nasional.
Terungkapnya kasus korupsi di KPU tersebut menunjukkan, bahwa dalam banyak segi demokrasi elektoral di Indonesia belum berkembang ke arah demokrasi yang terkonsolidasi dengan baik. Demokrasi elektoral memang berhasil membentuk pemerintahan baru yang memiliki legitimasi politik yang kuat. Bahkan dalam beberapa segi berhasil mentransformasikan demokrasi sebagai satu-satunya aturan yang berlaku dalam kehidupan politik warga negara. Rasanya, tidak terlalu sulit pada saat ini untuk meyakinkan mayoritas warga negara untuk menggunakan prosedur demokrasi dalam penyelesaian sengketa di tengah masyarakat.
Penyelesaian secara hukum atas sengketa Pilkada di Kota Depok serta peran Komisi Yudisial dapat diharapkan menjadi presiden baik bagi penegakan rule of law di Indonesia mengingat sengketa Pemilu merupakan sengketa yang sensitif dan menyangkut keterlibatan publik yang luas sehingga dapat berdampak pada kehidupan demokrasi secara keseluruhan. Keberhasilan dalam menangani sengketa serupa di masa datang akan menentukan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia, sehingga semua elemen bangsa meyakini rule of law sebagai prinsip demokrasi yang menjadi satu-satunya aturan yang ditaati dan tidak tergoda untuk jalan kekerasan yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.
Kondisi birokrasi seperti itu pada kenyataannya masih jauh dari kenyataan. Birokrasi Indonesia masih tetap lamban, tidak efisien, dan sarat dengan korupsi. Namun, upaya depolitisasi birokrasi tetap memiliki makna yang sangat penting bagi terbentuknya birokrasi yang profesional. Selebihnya faktor kepemimpinan.
Persiapan Pemilu 2014 Jaya Raya Indonesia
Persiapan pemilu 2014 sering dikaitkan dengan pilkada yang berlangsung pada tahun 2011. Persiapan pemilu 2014 dijelaskan oleh Ketua KPU bahwa berdasarkan perkembangan pembahasan Rancangan Perubahan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, tahapan pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD dimulai 22 bulan sebelum hari pemungutan suara. Pemungutan suara diperkirakan bulan April 2014. Pendaftaran parpol peserta pemilu dimulai bulan Agustus-Desember 2012. Tahap penyerahan data kependudukan dijadwalkan bulan Desember 2012 sampai dengan Januari 2013. Selanjutnya sinkronisasi aplikasi pemutakhiran data pemilih antara KPU dan Dirjen Adminduk bulan Januari-Februari 2013.
Penyerahan DP4 dari pemerintah ke KPU dan proses pemutakhiran data pemilih bulan Maret–Oktober 2013. Tahapan penyusunan dan penetapan dapil yang diawali dengan penyerahan data kependudukan dari pemerintah kepada KPU bulan Desember 2012 sampai dengan Februari 2013. Tahapan pencalonan dimulai bulan Mei–September 2013. Masa kampanye dimulai Januari 2013 sampai dengan April 2014.
Persiapan pemilu 2014 khusus untuk pengadaan logistik pemilu dan pendistribusiannya dimulai bulan Oktober 2013 sampai dengan April 2014. Pemungutan suara, penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara, penghitungan pembagian kursi bulan April– Mei 2014. Sedangkan penetapan hasil pemilu, penghitungan pembagian kursi dan penetapan calon terpilih, termasuk proses persidangan di MK jika ada gugatan bulan Mei-Oktober 2014. Sumpah janji untuk anggota DPRD Kabupaten/Kota bulan Juli– Agustus 2014, DPRD Provinsi bulan Agustus–September 2014,  DPR RI dan DPD RI tanggal 1 Oktober 2014.
Kesimpulan rapat yang dilakukan oleh KPU adalah sebagai berikut. Pertama, Terkait penyelenggaraan pemilukada yang terjadi sejak tahun 2010 sampai dengan sekarang, Komisi II DPR RI meminta kepada KPU dan Bawaslu untuk menyerahkan data terkait sebagai bahan masukan dalam melaksanakan fungsi legislasi DPR RI, yakni; jenis-jenis pelanggaran yang terjadi dan tindak lanjut yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, klasifikasi partai politik dan perseorangan sebagai pemenang pemilukada, masalah partai politik terkait persyaratan dan pengusungan calon, kelemahan regulasi yang terjadi di lapangan, dan kategorisasi penanganan putusan peradilan, khususnya yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Kedua, Komisi II DPR RI mendorong agar peran pencegahan dari Bawaslu dapat dilaksanakan secara lebih efektif. Ketiga, Terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pemilukada, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang akan dibahas oleh DPR RI, Komisi II DPR RI meminta KPU dan Bawaslu untuk dapat memberikan masukan-masukan yang komprehensif. Keempat, Terkait usulan anggaran pemilukada agar dialokasikan dari APBN, Komisi II DPR RI meminta kepada KPU dan Bawaslu untuk menyampaikan usulannya secara komprehensif.
Persiapan pemilu 2014 kemudian dikaitkan dengan yang telah terjadi di pilkada atau pemilukada di beberapa wilayah Indonesia. Sebagian besar Anggota Komisi II DPR RI menyoroti tentang semakin tingginya konflik pemilukada di daerah-daerah yang berujung pada tindakan anarkis. Selain itu, banyak kasus sengketa pemilukada yang harus berakhir di Mahkamah Konstitusi. Penyelesaian sengketa pemilukada di MK di satu sisi menunjukkan bahwa kesadaran hukum masyarakat semakin tinggi, namun disisi lain membuktikan bahwa masih banyak ”lubang-lubang hitam” penyelenggaraan pemilukada di republik ini. KPU dan Bawaslu menjelaskan bahwa sebagian besar kasus pemilukada terkait dengan politik uang (money politics), pengerahan PNS, intimidasi dan kekerasan.
Ketua KPU Hafiz Anshary menjelaskan bahwa ada beberapa permasalahan terkait pemilukada, seperti masalah regulasi dimana ada beberapa pasal di dalam UU yang tidak mudah dilaksanakan. Adapula pasal-pasal yang tidak sinkron antara UU yang satu dengan UU yang lain. Misalnya masalah sumber pemutakhiran data pemilih. UU Nomor 32 Tahun 2004 jo. UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah  dengan UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Menurut UU No. 32 Tahun 2004 pemutakhiran data pemilih didasarkan pada data pemilih pada pemilu terakhir, sementara menurut UU Nomor 22 Tahun 2007, sumber data yang digunakan untuk pemutakhiran data pemilih adalah data kependudukan dari pemerintah. Selain itu, anggaran pemilukada yang berasal dari APBD juga banyak menimbulkan masalah seperti keterlambatan persetujuan, jumlah yang tidak sesuai dengan kebutuhan, dan kesulitan pencairan dengan berbagai alasan, tidak ada sanksi hukum bagi kepala daerah yang mengulur-ulur anggaran sehingga menghambat proses pemilukada, kepengurusan parpol yang lebih dari satu, pemecatan pengurus parpol di daerah di injure time, pengusulan calon yang lebih dari satu, perbedaan pasangan calon yang diusung antara pengurus parpol di daerah dengan pengurus pusat, pergantian pasangan calon yang diusung didetik-detik terakhir masa pendaftaran atau dipenghujung masa penyerahan perbaikan berkas, ijazah palsu, persoalan tes kesehatan, dukungan ganda untuk calon perseorangan dan dukungan  fiktif, penyelenggara yang tidak netral, tidak profesional, penyelenggara yang terlibat konflik kepentingan, putusan pengadilan yang berbeda atau melewati tahapan.
Misalnya perbedaan antara putusan Pengadilan Negeri dengan MK, putusan Pengadilan Negeri atau PTUN sesudah semua proses tahapan pemilukada berakhir dan calon terpilih sudah dilantik.
Pembatasan dana kampanye memang mulai dikeluarkan oleh beberapa kalangan, misalnya ICMI. Pembatasan dana kampanye yang disampaikan oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) meminta DPR mengatur pembatasan dana kampanye melalui RUU pemilu yang kini tengah dibahas. Pembatasan dana kampanye diharapkan bisa mengurangi potensi liberalisasi politik. ICMI sendiri sebenarnya sudah sejak dua tahun lalu menyuarakan perlunya pembatasan dana kampanye itu. Bukan hanya dalam pemilu DPR, DPD, dan DPR. Melainkan juga untuk pemilu presiden dan pemilihan kepala daerah.
Aturan tersebut akan melengkapi sumbangan ke parpol yang sudah dibatasi terlebih dulu di UU Pemilu. Itu akan menjadi salah satu jalan keluar yang efektif untuk mencegah terjadinya praktik money politics. Karena ketika biaya kampanye tidak dibatasi, akan muncul pemimpin instan. Pemimpin tersebut dibesarkan melalui iklan. Seorang pemimpin seharusnya memiliki potensi 60 persen. Kekurangan 40 persen diraih dengan kampanye. Bukannya hanya punya modal dasar 20 persen, lalu mengandalkan iklan kampanye. Gara-gara kampanye dan uang jadi 100 persen, pengalaman pemilu 2009 lalu menunjukkan bahwa partai politik lebih mengedepankan strategi populis ketimbang kerja politik. Pembatasan pemasukan dan pengeluaran dana kampanye, yang diiringi dengan penegakan hukum bagi para pelanggar, dinilai dapat memaksa partai untuk tidak bekerja instan.
Pembatasan dana kampanye itu mengemuka dalam diskusi Pembatasan Belanja Kampanye : Gagasan untuk RUU Pemilu, yang digelar Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) di Jakarta. Pembatasan pemasukan dan pengeluaran belanja kampanye, akan memaksa partai memaknai kerja politik bukan hanya pada momentum pemilu. ICW mengusulkan, pembatasan dana kampanye diturunkan, untuk individu menjadi maksimal Rp250 miliar, sedangkan badan hukum maksimal Rp1 miliyar. Ia menjelaskan, kelemahan lain dalam UU 10 tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD terlihat pada tidakadanya batasan sumbangan yang berasal dari internal kader dan partai politik. Pembatasan hanya dilakukan untuk dana kampaye yang berasal dari pihak lain perseorangan yakni maksimal Rp1 miliar dan kelompok atau perusahaan dan badan usaha non pemerintah maksimal Rp5 miliar.
Pembatasan sumbangan dan dana kampanye  pada pemilihan umum (Pemilu) 2014 mendatang, akhirnya disepakati Panitia Khusus, (Pansus)  Rancangan Undang-Undang  (RU) Pemilu DPR  RI , meski ada beberapa anggota Pansus yang keberatan. Walaupun sudah disepakati, namun Pansus RUU Pemilu belum menyepakati berapa besaran sumbangan maksimal dan dana kampanye maksimal yang dibolehkan kepada suatu partai politik.
Pembatasan dana kampanye yang akhirnya disahkan itu dijelaskan dalam pasal-pasal mengenai pengawasan terhadap besaran sumbangan dan kampanye suatu partai politik.yang diperbolehkan masih akan dirumuskan. Adanya pembatasan sumbangan dan dana kampanye harus sejalan dengan pengawasan yang kuat terhadap partai politik. Dikatakan, pasal-pasal yang yang terkait dengan pembahasan sumbangan dan dana kampanye meliputi besaran maksimal sumbangan perorangan dan lembaga, penggunaan dana untuk kampanye, sistem pelaporan keuangan parpol, serta audit oleh akuntan publik yang ditunjuk oleh Komisi Pemilihan Umum.
Keuangan partai politik akan diaudit oleh akuntan publik secara periodik setiap empat bulandan adanya aturan pembatasan sumbangan dan dana kampanye ini agar pengelolaan keuangan partai politik lebih transparan.
Kesepakatan adanya pembatasan sumbangan dan dana kampanye dicapai setelah terjadi perdebatan alot di antara anggota panitia khusus. Sebenarnya, kesepakatan tersebut diputuskan meski ada beberapa anggota Pansus yang keberatan. Namun Pansus RUU Pemilu DPR RI belum menyepakati berapa besaran sumbangan maksimal dan dana kampanye maksimal yang dibolehkan kepada suatu partai politik. Beberapa hal yang belum dibahas lebih lanjut adalah berapa dana kampanye maksimal yang diperbolehkan, apakah pembatasan dana itu dilakuan per daerah pemilihan, per calon legislatif, atau per partai politik.
Perdebatan RUU Pemilu sepertinya belum akan selesai dalam waktu dekat. Perdebatan RUU Pemilu sampai April 2012 terhitung sudah lewat setengah tahun Rancangan Undang-undang Pemilu dibahas. Partai-partai di parlemen masih berdebat mengenai sejumlah isu krusial sejak pertama kali Panitia Khusus RUU Pemilu bekerja mulai 4 Oktober 2011. Permasalahan mundurnya waktu penggodokan RUU ini karena ada empat poin krusial yang sampai saat ini belum ada titik temu.
Poin krusial pertama menyangkut sistem pemilu, terbuka atau tertutup. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, adalah yang mendukung kuat sistem tertutup atau dikenal juga sebagai sistem nomor urut. Masalah kedua, ambang parlemen atauparliamentary threshold. Dalam masalah ini, ada yang masih bertahan tiga persen, ada yang sudah turun jadi empat persen. Ketiga, masalah jumlah kursi per daerah pemilihan. Ada yang mengusulkan diciutkan jadi 3 sampai 8 kursi, ada pula yang bertahan 3-10 kursi seperti dipakai di Pemilu 2009. Kemudian ada pula masalah dana kampanye. Dan rapat konsultasi terakhir, kalau memang tidak ada titik temu, maka pada paripurna 12, anggota dewan tidak lagi akan melakukan banyak interupsi, tapi langsung pada pengambilan keputusan pada hal-hal yang belum ada titik temunya.
Perdebatan RUU Pemilu kemungkinan besar akan menmpuh voting dalam paripurna yang digelar di paripurna pada Rabu 11 April ini. Namun PPP berharap partai-partai yang mengusung ambang empat persen bisa turun ke tiga persen. DPR akan memperpanjang masa sidang selama satu minggu untuk menyelesaikan sejumlah rancangan undang-undang. RUU yang belum selesai itu antara lain RUU Pemilu, RUU Keistimewaan DIY, RUU Pendidikan Tinggi dan beberapa perangkat Undang-undang yang membutuhkan waktu yang lebih lama.
Sebagai pembanding, pada Pemilu 2004, tiap TPS maksimal untuk 300 pemilih. Saat itu kita memiliki 571.000 TPS di seluruh Indonesia. Dapat dibayangkan pada Pemilu 2014, berapa banyak TPS yang kita butuhkan karena jumlah penduduk yang kian meningkat. Kalau saja pemilih di setiap TPS dinaikkan jadi 1.000 orang atau lebih, maka akan terjadi efisiensi yang luar biasa untuk semua pihak. Bagi pemerintah, 1.000 pemilih atau lebih per TPS berarti pengurangan biaya penyelenggaraan pemungutan suara karena adanya pengurangan jumlah petugas pelaksana pemilu dan petugas keamanan, dan kemungkinan kotak dan bilik suara.
Sementara bagi partai politik, berarti mengurangi biaya untuk saksi dan lain-lain. Tentu saja angka ini harus dikecualikan di Papua yang bermedan amat berbeda dengan wilayah Indonesia lainnya.
Perdebatan RUU Pemilu dari Senayan juga menyangkut pengaturan penggunaan wilayah publik untuk kampanye, bukan sekadar asal muasal dan jumlah dana kampanye. Ihwal wilayah publik ini penting mengingat tak semua politisi dan partai punya akses media massa yang sama.
Seharusnya, UU Pemilu juga mengatur secara rinci durasi waktu bagi setiap calon anggota legislatif atau partai tampil di media elektronik. Prinsip equality for all berlaku bagi siapa pun, termasuk politisi atau partai yang terkait media elektronik yang dimaksud, karena media penyiaran elektronik adalah ranah publik yang di dalamnya terdapat hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang berimbang.
UU Penyiaran memang mengatur penggunaan durasi di media elektronik ini, tetapi masih bersifat                       umum. UU Pemilu-lah yang seharusnya secara spesifik mengatur batasan durasi waktu yang adil bagi para calon anggota legislatif dan parpol, karena kampanye adalah bagian integral dari pemilu. Mekanisme pengawasan tentang hal ini, secara institusional, ada baiknya diserahkan kepada Badan Pengawas Pemilu dan Komisi Penyiaran Indonesia. 

Referensi diambil dari web, buku, dan sumber terpercaya